Pemahaman
Analisa fundamental saham adalah sebuah tindakan untuk mempelajari kondisi fundamental sebuah perusahaan meliputi rasio keuangan, laporan keuangan, kondisi sektoral hingga faktor eksternal yg mempengaruhi keadaan perusahaan tersebut sebagai contoh kondisi makro ekonomi dan psikologi pasar sehingga dengan melihat instrumen analisa tersebut kita bisa menentukan apakah saham perusahaan tersebut layak dibeli atau tidak
Berikut beberapa urutan dalam melakukan analisa fundamental saham
1. Kondisi makro ekonomi
Kita harus mengenali kondisi makro ekonomi terutama kebijakan pemerintah menyangkut masalah ekonomi seperti kebijakan suku bunga, tarif impor/ekspor. Selain itu kita juga harus melihat angka pertumbuhan ekonomi nasional dan juga hal-hal yang bersifat non ekonomi namun berpengaruh kepada kondisi dunia usaha seperti isu politik, sosial dan keamanan
2. Kondisi sektoral
Faktor ini jelas sangat penting untuk anda pantau contoh jika anda mengincar salah satu saham perusahaan pertambangan tentunya anda harus mempelajari kondisi pasar pertambangan di Indonesia, nilai ekspornya dan lain sebagainya
3. Kondisi fundamental perusahaan
Ini yang terpenting yang anda harus pejajari, bagaimana kondisi manajemen perusahaan apakah dikelola dengan baik, bagaimana kondisi laporan keuanganya
Setelah mempelajari beberapa kondisi diatas, anda tinggal melanjutkan untuk menentukan nilai intrinsik atau harga wajar sebuah saham dengan mempelajari 6 rasio keuangan yang biasanya digunakan oleh para analis fundamental saham yaitu:
1.EPS (Earning Per Share)
Rasio pertama adalah EPS, atau kepanjangannya adalah Earning Per Share, yang berarti laba bersih per lembar saham. Bila EPS bernilai Rp100, artinya setiap lembar saham menghasilkan laba sebesar Rp100. Cara menghitung EPS yaitu jumlah laba bersih dibagi dengan jumlah lembar saham beredar. Rumus menghitung EPS adalah:
EPS = Laba bersih : Jumlah lembar sahamCarilah perusahaan yang memiliki EPS yang bertumbuh dari waktu ke waktu (trend positif). EPS yang menanjak menunjukkan perusahaan bertumbuh dengan baik. Kemungkinan besar penjualan dan labanya naik. Sebaliknya, EPS yang turun menunjukkan penurunan penjualan dan laba.
2 PER (Price to Earning Ratio)
Rasio kedua adalah PER, atau kepanjangannya adalah Price to Earning Ratio, yaitu rasio yang menggambarkan keuntungan sebuah perusahaan dibandingkan harga sahamnya. Rumus untuk menghitung PER adalah
PER = Harga saham : Laba per lembar sahamPER adalah lama waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan modal yang dipakai untuk membeli saham. Misalnya, saham seharga Rp100 dengan EPS sebesar Rp20 per tahun, artinya saham tersebut memiliki PER sebesar: Rp100 : Rp20 = 5x.
Artinya jika laba perusahaan tidak bertumbuh atau menyusut, alias tetap Rp20 per tahun, kita membutuhkan waktu 5 tahun untuk kembali modal. Ada 2 cara menghitung PER:
Trailing PER, yaitu PER yang dihitung berdasarkan EPS tahun lalu.
Forward PER, yaitu PER yang dihitung berdasarkan EPS estimasi di masa mendatang.
Sebuah saham dianggap murah bila PER-nya lebih rendah daripada PER rata-rata di dalam sebuah industri, misalkan sebuah perusahaan tambang memiliki PER di bawah rata-rata PER industri pertambangan, maka saham tambang tersebut akan dianggap murah.
Alternatifnya, bila kita tidak melihat rata-rata PER industri, sebagai patokan umumnya, saham dengan PER di bawah 10x dianggap murah, dan saham yang memiliki PER di atas 20x dianggap mahal.
3 PBV (Price to Book Value)
Rasio ketiga adalah PBV, atau kepanjangannya adalah Price to Book Value, rasio yang menggambarkan seberapa besar pasar menilai harga sebuah perusahaan dibandingkan kekayaan bersihnya. Rumus untuk menghitung PBV adalah:
PBV = Harga saham : Nilai buku per lembar saham (BV)Misalkan PBV sebesar 2x, artinya harga saham sudah tumbuh sebesar dua kali lipat dibandingkan kekayaan bersih suatu perusahaan. Umumnya investor disarankan untuk mencari saham dengan PBV yang lebih rndah daripada rata-rata PBV industri.
PBV yang tinggi bisa jadi disebabkan oleh harga pasar yang sudah terlampau tinggi. PBV rendah sering dijadikan indikator mencari saham yang murah atau Undervalued.
4 ROE (Return On Equity)
Rasio keempat adalah ROE, atau kepanjangannya adalah Return On Equity, yaitu rasio perolehan laba bersih yang dibukukan perusahaan dibandingkan dengan total kekayaan bersih yang dimiliki oleh perusahaan. Rumus untuk menghitung ROE adalah:
ROE = Laba bersih : Kekayaan bersihMisalnya, ROE sebesar 10% berarti setiap Rp100 kekayaan bersih perusahaan yang ditanamkan oleh pemodal dapat memberikan kontribusi laba bersih sebesar Rp10. ROE merupakan indikator seberapa efisien sebuah perusahaan dijalankan.
Pertanyaannya, bagaimana cara menilai ROE? Apakah misalnya ROE sebesar 20% itu bagus atau tidak? Ada 2 cara yang dapat digunakan untuk menilai ROE, yaitu:
-Bandingkan dengan ROE perusahaan sejenis dalam industri yang sama, atau bisa juga membandingkan dengan rata-rata ROE industri.
-Bandingkan ROE perusahaan dari waktu ke waktu (melihat trend-nya), apakah cenderung naik atau turun.
Sebaiknya kedua cara di atas digunakan bersama-sama untuk memperoleh analisis yang lebih lengkap. Carilah saham yang memiliki ROE yang meningkat serta cukup stabil. Angka ROE sebaiknya kalau bisa minimal 10%.
5. DY (Dividend Yield)
Rasio kelima adalah Dividend Yield, yaitu rasio yang menggambarkan seberapa besar pembagian dividen yang dibagikan oleh perusahaan terhadap harga sahamnya di pasar. Rumus untuk menghitung Dividend Yield adalah:
DY = Dividen per lembar saham : Harga sahamMisalnya, jika sebuah perusahaan membagikan dividen per lembar saham sebesar Rp100, dan harga saham saat ini sebesar Rp1.000, maka dividend yield-nya adalah sebesar 10%. Carilah saham yang memiliki dividend yield yang cukup besar karena hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan memiliki kestabilan laba bersih. Disarankan dividen yield minimal sebesar 3%.
Namun perlu dicatat, tidak semua emiten di Bursa Efek Indonesia membayar dividen. Perusahaan bisa saja pelit dalam membagi dividen asal harga sahamnya terus naik, karena keuntungan investasi saham sebetulnya bukan hanya dari dividen, namun juga dari capital gain.
6.DER (Debt to Equity Ratio)
Rasio keenam adalah DER, atau kepanjangannya adalah Debt to Equity Ratio, yaitu rasio jumlah hutang dan kewajiban yang dimiliki perusahaan dibandingkan dengan modal bersihnya. Rumus untuk menghitung DER adalah:
DER = Total kewajiban (hutang) : Kekayaan bersih (modal)
Bila DER < 1, maka menunjukkan bahwa perusahaan memiliki hutang lebih sedikit dibandingkan modal bersihnya, sedangkan bila DER > 1, maka perusahaan memiliki risiko keuangan yang besar. Secara umum, investor disarankan untuk mencari saham yang memiliki DER tidak lebih dari 1.
Sumber : finansialku.com
0 Comments:
Posting Komentar